Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) dalam rentang tahun 2011 2019 melakukan penelitian terkait penggunaan bahasa daerah di seluruh wilayah Indonesia. Penelitian dilakukan pada 94 bahasa dari 718 bahasa daerah yang telah terpetakan. Hasilnya didapatkan ada 5 bahasa daerah dalam keadaan kritis, 24 bahasa daerah terancam punah, 12 bahasa daerah kondisinya rentan, dan 21 bahasa daerah kondisinya aman.
Sementara yang mengejutkan ada 8 bahasa daerah yang sudah punah, semuanya ada di wilayah Indonesia timur yakni Maluku dan Papua. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Endang Aminudin Aziz juga menyebut bahasa yang punah di Maluku ada bahasa Kaiely, Moksela, Piru, Palumata,Hukumina. "Sementara di Papua ada bahasa Tandia dan Mawes," ; ujar Aminudin saat forum diskusi redaktur media beberapa waktu lalu.
Penyebab kepunahan bahasa daerah tersebut menurut Aminudin karena para orang tua tidak mewariskan bahasa tersebut kepada generasi berikutnya. Bahasa daerah yang sudah punag tersebut lanjut Aminudin juga tidak bisa dihidupkan kembali. Hal itu kata dia berkaca pada kasus bahasa Maori di Selandia Baru. "Di Selandia Baru bahasa Maori sudah mati tidak dipakai lagi oleh penuturnya,"ujar Aminudin.
Meski begitu di Selandia Baru kemudian ada tim dari sebuah universitas mencoba menghidupkan kembali bahasa Maori. Caranya adalah dengan menyusun tata bahasanya. Dengan begitu Aminudin bilang sebenarnya bahasa daerah yang sudah mati bisa dihidupkan kembali asalkan ada komitmen dari masyarakat penutur bahasa terkait untuk melakukan revitalisasi bahasA.
"Kalau tidak mau(revitalisasi) akan sulit," kata dia. Mendikbudristek Nadiem Makarim mengingatkan pentingnya 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Menurut Nadiem, banyak dampak yang akan diterima bangsa Indonesia jika kehilangan bahasa daerah.
"Kalau bahasa daerah kita punah itu artinya kita kehilangan identitas, kehilangan kebhinekaan, kita hilang bukan hanya sejarah tapi segala jenis kearifan lokal,"ujar Nadiem. Nadiem mengatakan kekayaan terbesar dari bangsa Indonesia adalah kebhinekaan. Sementara bahasa daerah, kata Nadiem, merupakan kebhinekaan yang harus dijaga dengan baik.
Salah satu penyebab utama punahnya bahasa daerah, kata Nadiem adalah dengan semakin sedikitnya penutur bahasa daerah tersebut. "Penuturnya tidak lagi menuturkan bahasa daereah tersebut. Dan dia tidak mewariskan bahasanya ke generasi berikut dan itu otomatis akan hilang di generasi berikutnya," ucap Nadiem. Sehingga Kemendikbudristek menghadirkan program 'Revitalisasi Bahasa Daerah'.
Dirinya berharap program ini dapat melindungi bahasa daerah yang ada di Indonesia. "Lewat program ini kita ingin menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah, mendorong kelestarian bahasa. Kalau tidak dilestarikan, tidak digunakan dia akan hilang,"kata Nadiem. Nantinya Kemendikbudristek akan melatih para guru utama serta guru guru bahasa daerah untuk penanaman bahasa daerah. Program ini akan dinamis, berorientasi pada pengembangan dan bukan sekedar memproteksi bahasa. Adaptif dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat tuturnya.
"Regenerasi dengan fokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah, serta merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya,"ujar Nadiem. Model pembelajaran yang diterapkan akan sesuai dengan kondisi sekolah masing masing; serta membangun kreativitas melalui bengkel bahasa dan sastra. "Nanti siswanya dapat memilih materi sesuai dengan minatnya. Bangga menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi," tutur Nadiem.
Siswa, kata Nadiem, akan didorong untuk mempublikasikan hasil karyanya, ditambah liputan media massa dan media sosial. Serta didorong untuk mengikuti festival berjenjang di tingkat kelompok/pusat pembelajaran, kabupaten/kota, dan provinsi. Tujuan akhir dari revitalisasi bahasa daerah ini, pertama agar para penutur muda akan menjadi penutur aktif bahasa daerah. Serta mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai.